Rangkuman:
Masalah lingkungan di Indonesia
kebanyakan disebabkan oleh masyarakat Indonesia sendiri. Masyarakat cenderung
tidak peduli tentang banyak hal sepele yang dapat merusak lingkungan. Contoh
sederhana adalah penggunaan gelas plastik dalam bertamu atau suguhan pesta.
Sampah plastik merupakan salah satu ancaman lingkungan yang sering diabaikan
orang. Satu contoh kecil tersebut dapat menggambarkan estimasi bagaimana
perilaku masyarakat Indonesia secara keseluruhan terhadap lingkungan. Hal ini karena
ketidakpedulian masyarakat pada umumnya, yang lebih disebabkan karena
ketidaktahuan. Masyarakat Indonesia harus diedukasi mengenai masalah ini,
dengan terlebih dahulu diyakinkan bahwa ini memang sebuah masalah: lingkungan
dapat mempengaruhi perilaku masyarakat yang tinggal di dalamnya. Edukasi ini
harus dilakukan dengan tepat dan terus-menerus sebagai bagian dari ikhtiar kita
membangun Indonesia yang tidak akan pernah berhenti, sampai Indonesia tidak ada
lagi.
...............................................................
Perayaan
Idul Fitri tahun 2012 ini membawa banyak cerita. Momen yang diperingati umat Islam
ini mengungkap banyak realita masyarakat yang sebelumnya tidak tampak. Isu yang
paling sederhana, paling dekat, dan bisa benar-benar diperhatikan, adalah penyajian
makanan dan minuman untuk menjamu sanak kerabat yang bertamu. Orang-orang yang
cenderung kedatangan tamu dalam jumlah banyak dan sering akan menghindari cara paling merepotkan untuk
menyajikan dan membereskan minuman dan makanan pada tamu-tamu yang berdatangan
setiap hari.
Pada
hari-hari libur lebaran, ibu saya meminta saya membeli satu kardus air minum
kemasan. Perdebatan yang agak alot antara masalah kepraktisan dan sampah yang
tak terurai sempat terjadi sebelum akhirnya saya mengalah untuk pergi membeli
barang tersebut. Namun dalam perjalanan, ternyata tidak mudah mendapatkan satu
kardus air minum kemasan bahkan di minimarket. Tiga minimarket sudah saya
lewati dan semuanya kehabisan air minum kemasan merek apa pun. Jika satu
minimarket melingkupi setidaknya dua wilayah perumahan yang kisaran penduduknya
bisa mencapai 10 KK, berapa banyak orang di sepanjang jalan yang memiliki
pemikiran sama dengan ibu saya?
Air
minum kemasan itu praktis sekaligus bermasalah. Gelas-gelas kemasan berbahan
plastik berisi air siap minum disajikan bersama sedotannya langsung ke para
tamu dan dibereskan dengan langsung dibuang. Jika tidak dengan air minum
kemasan, perayaan pesta juga cenderung menggunakan gelas plastik tipis yang
langsung dibuang setelah dipakai. Dari sisi pengguna, ini sangat praktis karena
tuan rumah tidak perlu mencuci peralatan makan yang digunakan. Namun, masalah
baru datang ketika sampah gelas plastik menumpuk di tempat pembuangan akhir. Plastik
yang menumpuk merupakan masalah karena bahan plastik tidak mudah diuraikan oleh
mikroorganisme tanah. Paling cepat, plastik akan lenyap dalam waktu sepuluh
ribu tahun. Ketika dibakar, plastik akan melepaskan gas metana lebih banyak dan
memperparah efek rumah kaca yang meningkatkan suhu global saat ini. Kegiatan
daur ulang yang sudah banyak dilakukan tidak cukup berbanding lurus dengan
konsumsi saat lebaran. Sampah plastik pun menumpuk.
Peristiwa
kecil ini sudah cukup menggambarkan tentang kesadaran masyarakat Indonesia terhadap
lingkungan. Gambaran kecil tentang perlakuan masyarakat perkotaan Indonesia
terhadap gelas plastik dapat memberikan gambaran besar perilaku masyarakat
Indonesia terhadap lingkungan. Estimasi dapat diberlakukan bahwa di setiap
kilometer persegi wilayah Indonesia dengan karakteristik masyarakat yang telah
digambarkan, bahwa orang Indonesia yang membuang sampah sembarangan lebih
banyak dari yang membuang sampah di tempat sampah. Kepraktisan yang menjadi
permintaan global di tengah hiruk pikuk kebutuhan yang semakin bermekaran
jenisnya jelas menang jika dibandingkan dengan usaha menjaga lingkungan yang
membawa paradigma “lebih merepotkan”. Apalagi jika dampak langsungnya tidak
dirasakan. Jika isu ketidakpedulian ini bisa terjadi terhadap kasus sesepele
sampah, maka hal tersebut bisa terjadi di berbagai aspek lingkungan lain yang lebih
penting.
Namun,
ketidakpedulian ini tidak bisa menjadi parameter bahwa sebagian besar
masyarakat tidak mengerti. Pengertian seseorang terhadap masalah yang terjadi
di lingkungan hidup tidak menjamin kepeduliannya. Pernah seorang ibu yang saya
tegur setelah saya mengambil bungkus plastik yang dibuangnya ke bawah kursi
angkutan umum merasa tidak enak setelah sekian lama dan mengambil bungkus
plastik itu dari saya untuk dibuangnya sendiri. Ada lagi seorang teman yang
memberikan jawaban jelas, “Kan nanti ada yang membersihkan,” atau “Mending
dibuang di dalam angkot daripada di jalan raya”. Padahal cukup sulit mencari
tempat sampah di Indonesia. Dengan kata lain, siapa pun yang nanti membersihkan
itu akan menambah sampah di tempat lain. Mereka mengerti, tapi mereka tidak
peduli. Padahal, kepedulian ini penting, seperti teori yang akan dijabarkan
berikut.
Ketika
suatu area sudah cenderung dipenuhi sampah yang berserakan, orang akan mudah
tidak merasa bersalah membuang sampah di tempat tersebut. Para ahli ilmu sosial
merumuskan perilaku manusia yang satu ini dalam teori jendela pecah. Jika suatu
perilaku menyimpang dibiarkan terjadi cukup sering, kemerosotan lingkungan
akibat penyimpangan ini akan terus meningkat tanpa bisa dikembalikan atau
dihentikan dan pada akhirnya orang-orang akan cenderung mengabaikan lingkungan
sekitarnya. Ini biasa terjadi untuk perbuatan-perbuatan menyimpang yang sanksi
sosialnya tidak terlalu besar. Hal ini dapat diamati di dalam angkutan umum;
tidak akan sulit mencari sampah yang diselipkan di sudut-sudut tertentu atau
kerusakan, bahkan vandalisme di bagian kursi atau bingkai jendela. Contoh lain
adalah sampah-sampah yang umum tampak di pasar tradisional yang digelar di
jalan raya atau alun-alun kota. Orang mungkin berpikir bahwa “nanti akan ada”
orang yang membersihkan, repot harus mencari tempat sampah, atau mengapa saya
harus menjadi orang yang peduli? Padahal, suatu bentuk penyimpangan, misalnya coretan
iseng atau sampah di sembarang tempat, jika dibiarkan dalam jumlah banyak dapat
mendukung timbulnya tindakan menyimpang yang lain, misalnya mencuri.
“Satu
jendela pecah yang diperbaiki menunjukkan bahwa suatu perilaku tidak dapat
ditoleransi, namun satu jendela pecah yang dibiarkan,” Wilson dan Kelling
menulis, “adalah tanda bahwa tidak ada yang peduli sehingga memecahkan lebih
banyak kaca tidak akan merugikan siapa pun”. Hal ini berlaku juga ketika
konteks “jendela pecah” disubstitusi dengan “membuang sampah sembarangan”.
Ketika berada di lingkungan yang banyak sampahnya, orang akan berpikir bahwa
tidak apa-apa menambah beberapa sampah tambahan, terutama jika lokasi tersebut
bukan lokasi yang sering didatanginya. Melihat basis teori jendela pecah dan
realita masyarakat sekarang, bukan tidak mungkin tempat dengan banyak sampah
akan menghasilkan perilaku menyimpang yang lebih parah. Tempat dengan banyak
sampah, dinding yang dicoret-coret dengan nama geng yang dibiarkan, atau
fasilitas rusak akan mengundang aktivitas sekumpulan pelaku penyimpangan dan
berujung pada tindakan-tindakan immoral. Beberapa contoh yang dapat disebutkan
adalah perusakan dan vandalisme lebih lanjut, tawuran, membuang lebih banyak
sampah di tempat tersebut, dan lain-lain. Dari sini dapat dikatakan bahwa lingkungan
dapat memengaruhi perilaku masyarakat sehingga sudah selayaknya dijaga.
Lingkungan harus dijaga demi membentuk masyarakat yang lebih baik. Ketidakpedulian
masyarakat dalam menjaga lingkungan, yang bisa diambil dari contoh sampah ini,
lebih banyak disebabkan oleh ketidaktahuan dan ketidakmengertian masyarakat.
Karena itu, usaha edukasi, tidak hanya sosialisasi, harus dilakukan dengan
benar dan tidak boleh hanya sekali. Pembelajaran membutuhkan pengulangan untuk
memperkuat melekatnya konsep-konsep penting yang menjadi inti dari
masalah—bahkan kebohongan yang diulang-ulang bisa menjadi kebenaran. Edukasi
masyarakat penting karena kita harus memasukkan elemen masyarakat ketika
memanajemen lingkungan.
Memberitahu
masyarakat bahwa sesuatu adalah masalah merupakan usaha yang cukup sulit.
Apalagi jika masyarakat merasa bahwa hal yang sebenarnya merupakan masalah
bukan suatu masalah. Daya tahan tubuh masyarakat Indonesia kebanyakan terhadap
penyakit lebih tinggi dari masyarakat negara lain yang memang lingkungan hidupnya
lebih bersih. Otomatis, orang-orang Indonesia tidak akan merasa terganggu hanya
dengan beberapa sampah plastik saja di sekitarnya. Dapat juga dikatakan bahwa
usaha membersihkan daerah sekitarnya tidak terjaga sebagai suatu kebiasaan yang
dianggap perlu. Hal ini juga yang sering dibiarkan tertanam di anak-anak kita:
nanti kan juga kotor lagi? Standar kenyamanan sebagian besar masyarakat
Indonesia yang tidak terlalu tinggi merupakan salah satu dari sekian banyak
faktor yang membuat negara kita tercinta menomorsekiankan masalah lingkungan.
Edukasi
masyarakat memang tidak mudah, namun bukan tidak mungkin. Satu hal yang harus
disadari oleh semua orang bahwa ini adalah tanggung jawab seluruh elemen dari
Negara Kesatuan Republik Indonesia. Kita semua sedang berada di sebuah perahu
yang sama, perahu Indonesia. Jika salah seorang penumpang melubangi perahu,
seluruh penumpang akan ikut tenggelam. Apa yang dapat kita lakukan adalah
memberitahu penumpang yang sedang berusaha melubangi perahu tersebut dampak
perbuatannya, dan membujuknya untuk tidak melakukannya. Ini jelas membutuhkan
pengetahuan tentang kondisi kapal. Kondisi lingkungan Indonesia.
Dari
analogi kapal tersebut, dapat dikatakan bahwa orang yang mengedukasi masyarakat
tentang lingkungan haruslah orang yang tepat, dan pemberitahuan dilakukan
dengan cara yang tepat. Kaum cendekia yang mendalami tentang isu-isu lingkungan
tersebut memiliki tanggung jawab untuk memberitahu masyarakat di sekitarnya
mengenai apa yang harus dilakukan dengan lingkungan sekitar kita. Dosen teknik
lingkungan perlu membagi dan memfasilitasi penyebaran ilmu tentang pengolahan
limbah air agar rumah-rumah tidak boros air. Mahasiswa-mahasiswi ilmu alam
dapat memberi tahu para pedagang kaki lima ketika mereka membeli dagangannya
betapa pentingnya menjaga daerah berjualannya tetap bersih dari sampah.
Siswa-siswi sekolah dapat mengajak orang tuanya memisah sampah di rumah dan
mengatur agar kompleks rumah mereka tidak menjadi kontributor terbesar Tempat
Pembuangan Akhir. Hal-hal ini adalah hal-hal sederhana yang jika dilakukan oleh semua
orang, dampaknya akan besar. Tak lupa pula bahwa cara mengedukasi masyarakat
harus tepat. Kita tidak dapat menjelaskan pemanasan global kepada tukang mie
tek-tek jika kita menggunakan istilah-istilah semacam metana dan penipisan
ozon. Mereka akan lebih mengerti jika kita memakai analogi terkait kehidupan
sehari-hari mereka. Mungkin “efek rumah kaca” bisa diganti “efek panci mie
kuah”. Hal ini hanya bisa kita lakukan dengan benar jika kita mengerti
kehidupan sosial mereka dan tingkat edukasi mereka.
Masalah
lingkungan berikatan erat dengan masalah sosial sehingga sudah selayaknya
memperhatikan aspek masyarakat. Mereka yang mempelajari sains tidak seharusnya
membatasi diri terhadap ilmu-ilmu sosial dan kemasyarakatan agar apa yang
mereka pelajari dapat berguna langsung bagi masyarakat. Di sinilah saat ketika
tugas para cendekia menjadi nyata: mempelajari bidang mereka secara mendalam
dan memahami cara mengajarkannya atau mengaplikasikannya kepada masyarakat.
Sistem pendidikan di negara kita tercinta masih mengkotakkan kedua aspek
tersebut dengan kurang memerhatikan kedalaman ilmu sekolah pendidikan maupun
mengabaikan aspek sosial pembelajaran ilmu alam. Namun, memberi pemahaman
kepada masyarakat dan pemerintah adalah tugas semua elemen negara. Semua harus
menyadari bahwa dengan kekuatan yang besar, timbul pula tanggung jawab yang
besar. Dengan ilmu yang tinggi, timbul tanggung jawab untuk untuk menyebarkan
dan meresapkannya ke setiap bagian masyarakat untuk kebaikan bangsa.
Edukasi
masyarakat bisa dimulai dari diri sendiri; jangan serta merta melempar tanggung
jawab itu kepada para cendekiawan. Kita bisa memperkaya diri dengan ilmu yang
tepat dan terpercaya mengenai isu-isu lingkungan, juga memberikan contoh yang
baik; satu tauladan lebih baik dari seribu arahan. Usaha mengedukasi masyarakat
penting dimulai ketika karakter dan pola pikir baru dibentuk; anak-anak dari
kecil perlu diajari untuk mencintai alam sehingga timbul kesadaran untuk
merawatnya sampai dewasa. Selain meninggalkan lingkungan yang lebih baik bagi
anak cucu kita, kita juga harus meninggalkan generasi muda yang lebih baik bagi
lingkungan kita.
Masyarakat
memiliki kekuatan utama dalam melestarikan lingkungan. Masyarakatlah yang
paling dekat dengan lingkungan. Sayangnya, banyak yang termakan pesimisme
karena ketidakpedulian pemerintah sehingga banyak yang tidak mau berusaha.
Padahal usaha-usaha penting dalam melestarikan lingkungan akan lebih membawa
signifikansi jika dilakukan oleh masyarakat Indonesia. Apakah kita harus selalu
menunggu pemerintah untuk peduli baru kita berjalan? Negara adalah pemerintah,
wilayah, dan rakyat. Negara adalah gambaran ketiga elemen penyusunnya, tidak
hanya pemerintah.
Edukasi
masyarakat mengenai lingkungan harus terus dilakukan. Terus diulang agar
meresap ke setiap kepala yang mendengarnya secara berulang. Sesuatu yang
diulang dan selalu dilakukan dapat membantu pengertian semua orang, menjadikan
hal tersebut suatu budaya, kunci kekuatan suatu bangsa. Ini adalah ikhtiar yang
akan selalu berlangsung tanpa henti, terus dilakukan, sampai Indonesia tidak
ada lagi.
Mungkin
saya akan terus membeli sekardus gelas plastik setiap lebaran menjelang. Terus
menerus, sampai saya bisa membawa pulang ke rumah alat yang bisa mengubah air
keran menjadi air layak minum, atau membantu memperbaiki sistem PDAM. Namun,
hari itu, hari ketika ibu saya tidak akan mendebat saya tentang sekardus gelas
plastik, pasti akan datang.
Referensi
The Economist. 2008.
”Can the can”.http://www.economist.com/node/12630201 diakses tanggal 28 September 2012
Weber, B. 2012. “James Q. Wilson Dies at
80; Originated ‘Broken Windows’ Policing Strategy”. The New York Times.http://www.nytimes.com/2012/03/03/nyregion/james-q-wilson-dies-at-80-originated-broken-windows-policing-strategy.html?_r=1&pagewanted=alldiakses tanggal 28 September 2012
Anonim. 2010. “Dioxin – Dampak
Negatifnya dan Cara Menghindarinya”. BemFKUnud.com. http://www.bemfkunud.com/2010/02/28/dioxin-dampak-negatifnya-dan-cara-menghindarinya/ diakses tanggal 29 September 2012
* Paper ini diikutsertakan Iga untuk mengikuti
Kompetisi Esai Mahasiswa “Menjadi Indonesia” 2012
“MENJADI INDONESIA adalah menjadi manusia yang bersiap memperbaiki keadaan, tetapi bersiap pula untuk melihat bahwa perbaikan itu tidak akan pernah sempurna dan ikhtiar itu tidak pernah selesai.” (Goenawan Mohamad — Surat dari & untuk Pemimpin)Menjadi Indonesia = (men)dingan (ja)ngan (di)am untuk Indonesia; Sebuah gerakan moral, ajakan berbuat nyata, memberi makna pada Indonesia. Lebih baik menyalakan lilin ketimbang sekadar mengutuk kegelapan.
2 comments:
Memang harus dilatih sepanjang hayat untuk mendapatkan mental 'jijik terhadap plastik'.
Bahkan ketika mental itu sudah kita peroleh, kita seperti menganut 'agama baru', yang setiap kali menolak kantong plastik ketika berbelanja harus menjelaskan alasannya.
Bahkan ketika kita sudah menyodorkan tas yang kita bawa sendiri dari rumah, masih 'dieyeli' juga agar barang belanjaan sebaiknya dibungkus kresek dulu biar tas yang kita bawa tidak kotor.
Tidak mudah, tapi harus dilakukan sejak sekarang.
Ciptakan rasa jijik dan rasa bersalah membawa plastik2 dari luar ke dalam rumah kita.
insya Allah, mbak...
Post a Comment