Short Message for My Beloved Kids

Jangan pernah putus asa dengan hidupmu, karena Tuhan tidak pernah putus asa membentukmu!

Wednesday, December 05, 2012

Teori Sampah Indonesia

by Sabhrina Gita Aninta



Rangkuman:
            Masalah lingkungan di Indonesia kebanyakan disebabkan oleh masyarakat Indonesia sendiri. Masyarakat cenderung tidak peduli tentang banyak hal sepele yang dapat merusak lingkungan. Contoh sederhana adalah penggunaan gelas plastik dalam bertamu atau suguhan pesta. Sampah plastik merupakan salah satu ancaman lingkungan yang sering diabaikan orang. Satu contoh kecil tersebut dapat menggambarkan estimasi bagaimana perilaku masyarakat Indonesia secara keseluruhan terhadap lingkungan. Hal ini karena ketidakpedulian masyarakat pada umumnya, yang lebih disebabkan karena ketidaktahuan. Masyarakat Indonesia harus diedukasi mengenai masalah ini, dengan terlebih dahulu diyakinkan bahwa ini memang sebuah masalah: lingkungan dapat mempengaruhi perilaku masyarakat yang tinggal di dalamnya. Edukasi ini harus dilakukan dengan tepat dan terus-menerus sebagai bagian dari ikhtiar kita membangun Indonesia yang tidak akan pernah berhenti, sampai Indonesia tidak ada lagi.
...............................................................
      Perayaan Idul Fitri tahun 2012 ini membawa banyak cerita. Momen yang diperingati umat Islam ini mengungkap banyak realita masyarakat yang sebelumnya tidak tampak. Isu yang paling sederhana, paling dekat, dan bisa benar-benar diperhatikan, adalah penyajian makanan dan minuman untuk menjamu sanak kerabat yang bertamu. Orang-orang yang cenderung kedatangan tamu dalam jumlah banyak dan sering akan menghindari cara paling merepotkan untuk menyajikan dan membereskan minuman dan makanan pada tamu-tamu yang berdatangan setiap hari.
          Pada hari-hari libur lebaran, ibu saya meminta saya membeli satu kardus air minum kemasan. Perdebatan yang agak alot antara masalah kepraktisan dan sampah yang tak terurai sempat terjadi sebelum akhirnya saya mengalah untuk pergi membeli barang tersebut. Namun dalam perjalanan, ternyata tidak mudah mendapatkan satu kardus air minum kemasan bahkan di minimarket. Tiga minimarket sudah saya lewati dan semuanya kehabisan air minum kemasan merek apa pun. Jika satu minimarket melingkupi setidaknya dua wilayah perumahan yang kisaran penduduknya bisa mencapai 10 KK, berapa banyak orang di sepanjang jalan yang memiliki pemikiran sama dengan ibu saya?
        Air minum kemasan itu praktis sekaligus bermasalah. Gelas-gelas kemasan berbahan plastik berisi air siap minum disajikan bersama sedotannya langsung ke para tamu dan dibereskan dengan langsung dibuang. Jika tidak dengan air minum kemasan, perayaan pesta juga cenderung menggunakan gelas plastik tipis yang langsung dibuang setelah dipakai. Dari sisi pengguna, ini sangat praktis karena tuan rumah tidak perlu mencuci peralatan makan yang digunakan. Namun, masalah baru datang ketika sampah gelas plastik menumpuk di tempat pembuangan akhir. Plastik yang menumpuk merupakan masalah karena bahan plastik tidak mudah diuraikan oleh mikroorganisme tanah. Paling cepat, plastik akan lenyap dalam waktu sepuluh ribu tahun. Ketika dibakar, plastik akan melepaskan gas metana lebih banyak dan memperparah efek rumah kaca yang meningkatkan suhu global saat ini. Kegiatan daur ulang yang sudah banyak dilakukan tidak cukup berbanding lurus dengan konsumsi saat lebaran. Sampah plastik pun menumpuk.
      Peristiwa kecil ini sudah cukup menggambarkan tentang kesadaran masyarakat Indonesia terhadap lingkungan. Gambaran kecil tentang perlakuan masyarakat perkotaan Indonesia terhadap gelas plastik dapat memberikan gambaran besar perilaku masyarakat Indonesia terhadap lingkungan. Estimasi dapat diberlakukan bahwa di setiap kilometer persegi wilayah Indonesia dengan karakteristik masyarakat yang telah digambarkan, bahwa orang Indonesia yang membuang sampah sembarangan lebih banyak dari yang membuang sampah di tempat sampah. Kepraktisan yang menjadi permintaan global di tengah hiruk pikuk kebutuhan yang semakin bermekaran jenisnya jelas menang jika dibandingkan dengan usaha menjaga lingkungan yang membawa paradigma “lebih merepotkan”. Apalagi jika dampak langsungnya tidak dirasakan. Jika isu ketidakpedulian ini bisa terjadi terhadap kasus sesepele sampah, maka hal tersebut bisa terjadi di berbagai aspek lingkungan lain yang lebih penting.
        Namun, ketidakpedulian ini tidak bisa menjadi parameter bahwa sebagian besar masyarakat tidak mengerti. Pengertian seseorang terhadap masalah yang terjadi di lingkungan hidup tidak menjamin kepeduliannya. Pernah seorang ibu yang saya tegur setelah saya mengambil bungkus plastik yang dibuangnya ke bawah kursi angkutan umum merasa tidak enak setelah sekian lama dan mengambil bungkus plastik itu dari saya untuk dibuangnya sendiri. Ada lagi seorang teman yang memberikan jawaban jelas, “Kan nanti ada yang membersihkan,” atau “Mending dibuang di dalam angkot daripada di jalan raya”. Padahal cukup sulit mencari tempat sampah di Indonesia. Dengan kata lain, siapa pun yang nanti membersihkan itu akan menambah sampah di tempat lain. Mereka mengerti, tapi mereka tidak peduli. Padahal, kepedulian ini penting, seperti teori yang akan dijabarkan berikut.
           Ketika suatu area sudah cenderung dipenuhi sampah yang berserakan, orang akan mudah tidak merasa bersalah membuang sampah di tempat tersebut. Para ahli ilmu sosial merumuskan perilaku manusia yang satu ini dalam teori jendela pecah. Jika suatu perilaku menyimpang dibiarkan terjadi cukup sering, kemerosotan lingkungan akibat penyimpangan ini akan terus meningkat tanpa bisa dikembalikan atau dihentikan dan pada akhirnya orang-orang akan cenderung mengabaikan lingkungan sekitarnya. Ini biasa terjadi untuk perbuatan-perbuatan menyimpang yang sanksi sosialnya tidak terlalu besar. Hal ini dapat diamati di dalam angkutan umum; tidak akan sulit mencari sampah yang diselipkan di sudut-sudut tertentu atau kerusakan, bahkan vandalisme di bagian kursi atau bingkai jendela. Contoh lain adalah sampah-sampah yang umum tampak di pasar tradisional yang digelar di jalan raya atau alun-alun kota. Orang mungkin berpikir bahwa “nanti akan ada” orang yang membersihkan, repot harus mencari tempat sampah, atau mengapa saya harus menjadi orang yang peduli? Padahal, suatu bentuk penyimpangan, misalnya coretan iseng atau sampah di sembarang tempat, jika dibiarkan dalam jumlah banyak dapat mendukung timbulnya tindakan menyimpang yang lain, misalnya mencuri.
         “Satu jendela pecah yang diperbaiki menunjukkan bahwa suatu perilaku tidak dapat ditoleransi, namun satu jendela pecah yang dibiarkan,” Wilson dan Kelling menulis, “adalah tanda bahwa tidak ada yang peduli sehingga memecahkan lebih banyak kaca tidak akan merugikan siapa pun”. Hal ini berlaku juga ketika konteks “jendela pecah” disubstitusi dengan “membuang sampah sembarangan”. Ketika berada di lingkungan yang banyak sampahnya, orang akan berpikir bahwa tidak apa-apa menambah beberapa sampah tambahan, terutama jika lokasi tersebut bukan lokasi yang sering didatanginya. Melihat basis teori jendela pecah dan realita masyarakat sekarang, bukan tidak mungkin tempat dengan banyak sampah akan menghasilkan perilaku menyimpang yang lebih parah. Tempat dengan banyak sampah, dinding yang dicoret-coret dengan nama geng yang dibiarkan, atau fasilitas rusak akan mengundang aktivitas sekumpulan pelaku penyimpangan dan berujung pada tindakan-tindakan immoral. Beberapa contoh yang dapat disebutkan adalah perusakan dan vandalisme lebih lanjut, tawuran, membuang lebih banyak sampah di tempat tersebut, dan lain-lain. Dari sini dapat dikatakan bahwa lingkungan dapat memengaruhi perilaku masyarakat sehingga sudah selayaknya dijaga. Lingkungan harus dijaga demi membentuk masyarakat yang lebih baik. Ketidakpedulian masyarakat dalam menjaga lingkungan, yang bisa diambil dari contoh sampah ini, lebih banyak disebabkan oleh ketidaktahuan dan ketidakmengertian masyarakat. Karena itu, usaha edukasi, tidak hanya sosialisasi, harus dilakukan dengan benar dan tidak boleh hanya sekali. Pembelajaran membutuhkan pengulangan untuk memperkuat melekatnya konsep-konsep penting yang menjadi inti dari masalah—bahkan kebohongan yang diulang-ulang bisa menjadi kebenaran. Edukasi masyarakat penting karena kita harus memasukkan elemen masyarakat ketika memanajemen lingkungan.
     Memberitahu masyarakat bahwa sesuatu adalah masalah merupakan usaha yang cukup sulit. Apalagi jika masyarakat merasa bahwa hal yang sebenarnya merupakan masalah bukan suatu masalah. Daya tahan tubuh masyarakat Indonesia kebanyakan terhadap penyakit lebih tinggi dari masyarakat negara lain yang memang lingkungan hidupnya lebih bersih. Otomatis, orang-orang Indonesia tidak akan merasa terganggu hanya dengan beberapa sampah plastik saja di sekitarnya. Dapat juga dikatakan bahwa usaha membersihkan daerah sekitarnya tidak terjaga sebagai suatu kebiasaan yang dianggap perlu. Hal ini juga yang sering dibiarkan tertanam di anak-anak kita: nanti kan juga kotor lagi? Standar kenyamanan sebagian besar masyarakat Indonesia yang tidak terlalu tinggi merupakan salah satu dari sekian banyak faktor yang membuat negara kita tercinta menomorsekiankan masalah lingkungan.
       Edukasi masyarakat memang tidak mudah, namun bukan tidak mungkin. Satu hal yang harus disadari oleh semua orang bahwa ini adalah tanggung jawab seluruh elemen dari Negara Kesatuan Republik Indonesia. Kita semua sedang berada di sebuah perahu yang sama, perahu Indonesia. Jika salah seorang penumpang melubangi perahu, seluruh penumpang akan ikut tenggelam. Apa yang dapat kita lakukan adalah memberitahu penumpang yang sedang berusaha melubangi perahu tersebut dampak perbuatannya, dan membujuknya untuk tidak melakukannya. Ini jelas membutuhkan pengetahuan tentang kondisi kapal. Kondisi lingkungan Indonesia.
        Dari analogi kapal tersebut, dapat dikatakan bahwa orang yang mengedukasi masyarakat tentang lingkungan haruslah orang yang tepat, dan pemberitahuan dilakukan dengan cara yang tepat. Kaum cendekia yang mendalami tentang isu-isu lingkungan tersebut memiliki tanggung jawab untuk memberitahu masyarakat di sekitarnya mengenai apa yang harus dilakukan dengan lingkungan sekitar kita. Dosen teknik lingkungan perlu membagi dan memfasilitasi penyebaran ilmu tentang pengolahan limbah air agar rumah-rumah tidak boros air. Mahasiswa-mahasiswi ilmu alam dapat memberi tahu para pedagang kaki lima ketika mereka membeli dagangannya betapa pentingnya menjaga daerah berjualannya tetap bersih dari sampah. Siswa-siswi sekolah dapat mengajak orang tuanya memisah sampah di rumah dan mengatur agar kompleks rumah mereka tidak menjadi kontributor terbesar Tempat Pembuangan Akhir. Hal-hal ini adalah hal-hal sederhana yang jika dilakukan oleh semua orang, dampaknya akan besar. Tak lupa pula bahwa cara mengedukasi masyarakat harus tepat. Kita tidak dapat menjelaskan pemanasan global kepada tukang mie tek-tek jika kita menggunakan istilah-istilah semacam metana dan penipisan ozon. Mereka akan lebih mengerti jika kita memakai analogi terkait kehidupan sehari-hari mereka. Mungkin “efek rumah kaca” bisa diganti “efek panci mie kuah”. Hal ini hanya bisa kita lakukan dengan benar jika kita mengerti kehidupan sosial mereka dan tingkat edukasi mereka.
    Masalah lingkungan berikatan erat dengan masalah sosial sehingga sudah selayaknya memperhatikan aspek masyarakat. Mereka yang mempelajari sains tidak seharusnya membatasi diri terhadap ilmu-ilmu sosial dan kemasyarakatan agar apa yang mereka pelajari dapat berguna langsung bagi masyarakat. Di sinilah saat ketika tugas para cendekia menjadi nyata: mempelajari bidang mereka secara mendalam dan memahami cara mengajarkannya atau mengaplikasikannya kepada masyarakat. Sistem pendidikan di negara kita tercinta masih mengkotakkan kedua aspek tersebut dengan kurang memerhatikan kedalaman ilmu sekolah pendidikan maupun mengabaikan aspek sosial pembelajaran ilmu alam. Namun, memberi pemahaman kepada masyarakat dan pemerintah adalah tugas semua elemen negara. Semua harus menyadari bahwa dengan kekuatan yang besar, timbul pula tanggung jawab yang besar. Dengan ilmu yang tinggi, timbul tanggung jawab untuk untuk menyebarkan dan meresapkannya ke setiap bagian masyarakat untuk kebaikan bangsa.
         Edukasi masyarakat bisa dimulai dari diri sendiri; jangan serta merta melempar tanggung jawab itu kepada para cendekiawan. Kita bisa memperkaya diri dengan ilmu yang tepat dan terpercaya mengenai isu-isu lingkungan, juga memberikan contoh yang baik; satu tauladan lebih baik dari seribu arahan. Usaha mengedukasi masyarakat penting dimulai ketika karakter dan pola pikir baru dibentuk; anak-anak dari kecil perlu diajari untuk mencintai alam sehingga timbul kesadaran untuk merawatnya sampai dewasa. Selain meninggalkan lingkungan yang lebih baik bagi anak cucu kita, kita juga harus meninggalkan generasi muda yang lebih baik bagi lingkungan kita.
    Masyarakat memiliki kekuatan utama dalam melestarikan lingkungan. Masyarakatlah yang paling dekat dengan lingkungan. Sayangnya, banyak yang termakan pesimisme karena ketidakpedulian pemerintah sehingga banyak yang tidak mau berusaha. Padahal usaha-usaha penting dalam melestarikan lingkungan akan lebih membawa signifikansi jika dilakukan oleh masyarakat Indonesia. Apakah kita harus selalu menunggu pemerintah untuk peduli baru kita berjalan? Negara adalah pemerintah, wilayah, dan rakyat. Negara adalah gambaran ketiga elemen penyusunnya, tidak hanya pemerintah.
            Edukasi masyarakat mengenai lingkungan harus terus dilakukan. Terus diulang agar meresap ke setiap kepala yang mendengarnya secara berulang. Sesuatu yang diulang dan selalu dilakukan dapat membantu pengertian semua orang, menjadikan hal tersebut suatu budaya, kunci kekuatan suatu bangsa. Ini adalah ikhtiar yang akan selalu berlangsung tanpa henti, terus dilakukan, sampai Indonesia tidak ada lagi.
      Mungkin saya akan terus membeli sekardus gelas plastik setiap lebaran menjelang. Terus menerus, sampai saya bisa membawa pulang ke rumah alat yang bisa mengubah air keran menjadi air layak minum, atau membantu memperbaiki sistem PDAM. Namun, hari itu, hari ketika ibu saya tidak akan mendebat saya tentang sekardus gelas plastik, pasti akan datang.

Referensi
The Economist. 2008. ”Can the can”.http://www.economist.com/node/12630201 diakses tanggal 28 September 2012
Weber, B. 2012. “James Q. Wilson Dies at 80; Originated ‘Broken Windows’ Policing Strategy”. The New York Times.http://www.nytimes.com/2012/03/03/nyregion/james-q-wilson-dies-at-80-originated-broken-windows-policing-strategy.html?_r=1&pagewanted=alldiakses tanggal 28 September 2012
Anonim. 2010. “Dioxin – Dampak Negatifnya dan Cara Menghindarinya”. BemFKUnud.com. http://www.bemfkunud.com/2010/02/28/dioxin-dampak-negatifnya-dan-cara-menghindarinya/ diakses tanggal 29 September 2012

* Paper ini diikutsertakan Iga untuk mengikuti

Kompetisi Esai Mahasiswa “Menjadi Indonesia” 2012

“MENJADI INDONESIA adalah menjadi manusia yang bersiap memperbaiki keadaan, tetapi bersiap pula untuk melihat bahwa perbaikan itu tidak akan pernah sempurna dan ikhtiar itu tidak pernah selesai.” (Goenawan Mohamad — Surat dari & untuk Pemimpin)
Menjadi Indonesia = (men)dingan (ja)ngan (di)am untuk Indonesia; Sebuah gerakan moral, ajakan berbuat nyata, memberi makna pada Indonesia. Lebih baik menyalakan lilin ketimbang sekadar mengutuk kegelapan.

 


Hadiah indah di penghujung tahun 2012 ~ trimakasih Biga..

...tepat di hari ulang tahunnya pada tanggal 29 Oktober 2012 yang lalu, Iga menjawab ucapan selamat ulang tahun dari ibunya dengan memposting sebuah link..

http://tempo-institute.org/ 

"ibu... lihat ini..", begitu bunyi pesannya singkat...

Alhamdulillah Iga berhasil lolos menjadi salah satu peserta Kemah Kepemimpinan Menjadi Indonesia 2012 yang diselenggarakan oleh TEMPO Institute Center of Excellent Journalism setelah menyisihkan 682 peserta lainnya dari seluruh Indonesia. Bersama 29 orang peserta yang lain, Iga mengikuti Kemah Kepemimpinan Menjadi Indonesia dari 21 November – 5 Desember 2012 di Wisma Tempo Sirnagalih di Megamendung, Cisarua, Bogor.

Dan tadi malam saat perjalanan pulang ke rumah, dalam keadaan badan yg lungkrah...lelah, masuk sms Iga ...


"Ibu, untung aq blm jd beli iPad :-). "
" Kenapa, nak? "
" Yang juara 3 hadiahnya iPad 16 GB, bu.. "
Aah..bgitu cara si mbak mengabarkan berita bahagianya..


Alhamdulillah Igaku berhasil lolos ke 3 besar pada peringkat ke 3... Padahal pada smsnya di hari sebelumnya, Iga tidak terlalu optimis untuk bisa lolos ke 3 besar karena 29 temannya yg dihadirkan dari seluruh pelosok Indonesia bukanlah mahasiswa dengan kualitas sekadarnya. 
"engga menang juga gpp kok, bu... at least aku di sini dapat banyak sekali bekal hidup dan pengalaman yang luar biasa..", begitu sederhana..

Terima kasih ya Allah.. untuk karunia dan rahmatMU pada anak-anakku...